“INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”
Fitri Wahyuni,SH,MH[1]
|
A. Pendahuluan
Hakim merupakan pengemban hukum praktis yang
menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran hukum. Namun demikian peran
hakim dalam suatu tradisi hukum sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain.
Dalam tradisi hukum common law, hakim
menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan hukum. Judge made law, artinya hukum yang
dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan
yangg diberikan kepada preseden-preseden (putusan hakim-hakim). Sementara eropa
kontinental mengutamakan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan
sebagai sendi utama sistemhukumnya. Oleh karena itu, hakim lebih banyak
berperan dalam kegiatan menerapkan hukum dalam kasus konkrit sesuai dengan
peraturan yang sudah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif.
Diantara para penegak hukum yang lain posisi hakim
adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak,
bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan dibumi untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Namun, dibeberapa dekade terakhir, terutama setelah
reformasi profesi hakim mendapatkan gugatan dari berbagai elemen masyarakat
karena dianggap hakim masih sering menggadaikan profesionalitasnya untuk
kepentingan sesaat dan jangka pendek.
Pelaksanaan hukum, penegakan rule of law, merupakan syarat mutlak bagi berdirinya sebuah
bangunan demokrasi. Terdapat 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk
terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of Law, yaitu: Perlindungan
Konstitusional, peradilan
atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, Pemilihan Umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan
berserikat/berorganisasi dan beroposisi, pendidikan
kewarganegaraan.[2] Dari syarat-syarat
tersebut jelaslah bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu
pilar pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa
berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Peradilan
harus bersifat independen serta impartial
(tidak memihak)[3]. Peradilan yang bebas pada
hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya
melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun
campur tangan pihak lain. Sedangkan Peradilan yang independen harus menjadi
puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi para pihak yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara sesama warga diproses
melalui peradilan. Peradilan tidak
punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
masalah internal institusional dan substantif.
Dalam masalah personal,
primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta
integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya
independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mempengaruhi dan
atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya
sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Keberadaan lembaga peradilan dalam suatu negara
modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Karena akan mustahil kekuasaan politik
pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika tidak ada lembaga yang berfungsi
menegakkan hukum dan mengadili sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau
antara rakyat dengan anggota masyarakat lainnya. Penegakan hukum dan keadilan
merupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu negara. Dalam bukunya Territory The Claiming of Space, David
Storey menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu:
- Mengatur perekonomian negara.
- Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan transportasi.
- Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya.
- Membela dan menjaga teritorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihak luar (Storey, Prentice Hall, 2001: 39).
Seperti yang
kita ketahui, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka
dan mandiri. Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah
adanya pengadilan berdaulat. Entitas pengadilan sejatinya merupakan lembaga
yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa.
Saat ini masyarakat
tidak puas terhadap pelayan peradilan. Peradilan dianggap gagal memenuhi
harapan sebagai benteng terkahir melawan ketidakadilan[4]. Hal ini melahirkan rasa
kurang hormat terhadap peradilan, dan keluarnya tuduhan bahwa peradilan telah
dipolitisasi dan korup. Dalam hal korupnya pengadilan, praktisi hukum (pengacara
atau jaksa) juga dipersalahkan karena
turut memfasilitasi terjadinya penyuapan. Khususnya pengacara dan
konsultan hukum banyak dituduh sebagai perantara dalam transaksi yang
menjadikan hukum sebagai barang dagangan.
Kenyataan tersebut sudah
begitu lekat sebagai citra peradilan di Indoensia. Tidak aneh jika masyarakat
membuat sindirian-sindiran dengan mengartikan istilah hakim sebagai Hubungi
Aku Kalau Ingin Menang, KUHP diartikan sebagai Kasih Uang Hakim Pasrah atau Kasih
Uang Habis Perkara dan banyak lagi simbol kerusakan peradilan.
Berbeda
dengan di Amerika Serikat perjuangan mewujudkan Independence Judiciary yang memerlukan waktu 100 tahun, Negara Indonesia
mewujudkan pengadilan yang lepas dari kekuasaan eksekutif terwujud pada tahun
2004 yang memunculkan peradilan satu atap. Pada umumnya penegakan hukum
tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan
variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum formal (acara),
kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Juga tidak terlepas dari ideologi
penegak hukum, tersedianya fasilitas bantuan hukum serta tingkat pendidikan dan
kesadaran hukum masyarakat. harus disadari bahwa kebebasan dan independensi
tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas yang
kedua-duanya itu merupakan dua sisi koin mata uang yang saling melekat.
Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab
Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah
diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial
accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi
kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum,
baik kalangan teoritisi/akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius
dan mendalam mengenai pengertian "judicial
accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".
B.
Peranan Hakim
dan Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan
kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas
pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Penjelasan setiap perkara yang diajukan kepada
badan-badan peradilan mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah
yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.[5]
Berbagai persoalan
yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah satu agenda penting reformasi.
Sehingga pada perubahan UUD 1945, Pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan.berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan penting dalam UUD 1945
Pasca Amandemen:[6]
1.
Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan
dalam pasal-pasal UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan
UUD 1945
2.
MA dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi
satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada mahkamah konstitusi yang
berkedudukan setingkat dengan MA dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahakamah
Konstitusi tidak kalah penting untuk diperkuat pada masa yang akan datang
adalah terwujudnya keterbukaan dipengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang dikelola oleh pengadilan.
Berkaitan
dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad yang lalu
pernah menyatakan: “In the darkness of
secrecy, sinister interest and evil in every shape have full swing. Only in
proportion as publicity has place can any of the check applicable to judicial
in justice operate. Where there is no publicity there is no justice. Publicity
is the very soul of justice. It is keenest spur to exertion and the surest of
all guard against improbity. It keeps the judge himself while trying under
trial”[7].
Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “dalam gelapnya ketertutupan, segala
jenis kepentingan jahat berada dipuncak kekuatannya hanya dengan keterbukaanlah
pengawasan terhadap segala bentuk ketidakadilan dilembaga peradilan dapat
dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan
adalah roh keadilan. Keterbukan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama
dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili
(perkara).
3.
Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur
kekuasaan kehakiman yaitu komisi yudisial yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
KY merupakan
salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap hakim haruslah menjadi kewenangan
komisi yudisial, karena sangatlah keliru kalau dikatakan secara universal KY
tidak dapat mengawasi hakim agung. Seiring dengan keberadaan KY sebagai
pengawas eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap
hakim harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan akuntabilitasnya
terhadap publik seraya membangun sinergi dengan pengawasan eksternal yang
dilakukan oleh KY.[8]
4.
Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan Judicial
Review UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus
sengketa tentang hasil pemilu.
Jadi, landasan
konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Dasar l945
sebagaimana ditentukan dalam pasal 20, 21, 24, 24ยช, 24B, 24C dan 25 UUD l945
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan mengadili merupakan
bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan sistem peradilan di negara kita
belum menganut integrated criminal
justice system sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan
sistem penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara
utuh. Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah
Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam
perkara pidana.
Dalam melakukan kekuasaan kehakiman dikenal adanya 4
(empat) lingkungan peradilan yaitu :
1. Peradilan
Umum
2. Peradilan
Agama
3. Peradilan
Militer
4. Peradilan
Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung adalah
peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan lainnya seperti Peradilan
Umum, Agama, militer dan Tata Usaha Negara maupun peradilan lainnya. Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang
mempunyai kedudukan terlepas dan terpisah dari pengaruh kekuasaan negara
lainnya.
Fungsi utama
dari MA sebagai sebuah lembaga peradilan adalah mewujudkan tujuan hakiki dari
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri yaitu mewujudkan kedaulatan
rakyat, interpreter of the constitution,
menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, menjalankan fungsi check and balance guna menegakkan
prinsip-prinsip negara hukum guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Fungsi
Yudicial menyelenggarakan peradilan dengan melaksanakan dan menerapkan hukum
secara tepat dan adil. Fungsi Review (toetsingsrecht)
adalah hak untuk menguji secara materiil berbagai peraturan perundang-undangan
dibawah konstitusi dengan mekanisme prosedural yang tidak menyulitkan. Fungsi
Supervisi adalah pertama: pengawasan dan pembinaan tertinggi terhadap
proses penyelenggaraan peradilan disemua tingkat dan lingkup peradilan; kedua:
pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim; ketiga: meminta
keterangan mengenai teknis peradilan; keempat: mempunyai kewenangan
untuk memberikan petunjuk, teguran dan peringatan yang diperlukan.
Sementara itu hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum
tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peradilan. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai
hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. [9]
Untuk itu,
dalam perekrutan hakim diperlukan suatu aturan dan prosedur yang jelas,
sehingga calon hakim terpilih benar-benar orang-orang yang memahami dan mengetahui
hukum dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, sistem rekrut
maupun proses diperadilan nasional masih belum berubah. Hal ini dapat dilihat
dari aspek personal maupun aspek perilakunya, yang masih sama dengan masa lalu.
Sebagai contoh, sikap Mahkamah Agung menanggapi keinginan masyarakat banyak
untuk megisi lowongan jabatan sejumlah Hakim agung di MA dengan tokoh-tokoh
yang dikenal berani dan relatif bersih. MA bukannya menerima malah dengan cepat menolak keras dan
hanya mengajukan kandidat yang berasal dari dalam. Aspirasi yang berkembang itu
ibarat biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu[10].
Padahal, Sistem rekruitmen Hakim Agung harus bersifat terbuka, maksudnya selain
dari hakim karier maka dimungkinkan juga para hakim bersalah dari lingkungan
para penegak hukum lain yang terdapat dalam lingkungan criminal justice system seperti advokat, kejaksaan dan kepolisian. Pola dan proses rekruitmen, mutasi, promosi
dan jenjang kepangkatan Hakim diserahkan kepada mekanisme internal MA.
Hakim
Agung dipilih dan diberhentikan langsung oleh DPR berdasarkan usulan-usulan
langsung dari rakyat dan lembaga profesi hukum. Pemilihan dan pengangkatan
hakim agung harus menjamin bahwa para kandidat mempunyai kemampuan,
integritasnya tinggi, kemandirian dan berpengalaman, selain profesional, jujur,
bersih dan berwibawa. Kandidat
terbaiklah yang dapat menduduki jabatan.
Pimpinan
dan anggota diangkat oleh MPR secara bebas dan rahasia disahkan oleh presiden
sebagai Kepala Negara Hakim Agung diangkat oleh DPR. Pemilihan calon tidak
boleh didasarkan atas diskrimasi berdasarkan ras, suku, agama warna kulit, sex
dan aliran politik. Prosedur pengangkatan harus diatur jelas dan mudah
diketahui oleh publik. Promosi hakim haruslah dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan, integritas, kemandirian dan pengalaman. Hakim hanya bisa
diberhentikan apabila terbukti, tidak mampu, melakukan tindak pidana melakukan
tindakan dan kelakuan tidak sesuai serta bertentangan dengan martabat dan
kedudukanya sebagai hakim dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk
melakukan pembelaan diri.
Kewibawaan
kekuasaan kehakiman menuntut adanya kredibilitas personal dan integritas moral
kelembagaan. Untuk itu pemberlakukan pedoman perilaku Hakim merupakan panduan
keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun
dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan
yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya,
juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam
tata pergaulan masyarakat. Terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak
memihak, memerlukan adanya pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim
selaku penegak hukum dan sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan
tanggung jawab Negara memberi jaminan keamanan, kecukupan kesejahteraan,
kelayakan fasilitas anggaran bagi Hakim, dan lembaga pengadilan. Sementara bagi
Hakim sendiri, meskipun kondisi-kondisi di atas belum terwujud, hal tersebut
tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian
pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
Adapun
peranan dari hakim diantaranya dijelaskan dalam UU No.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
a.
Peranan yang ideal
Pasal 1 yang isinya
adalah: ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
b.
Peranan yang seharusnya
Pasal 4
ayat (2) yang isinya adalah: ”Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan”.
Pasal 5
ayat (1) yang isinya adalah: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”. Ayat (2) yang isisnya adalah: ”Dalam perkara perdata
pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
Pasal 16
ayat (1) yang isinya adalah: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas meelainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
C.
Independensi kekuasaan kehakiman dan
profesionalisme hakim
Untuk
membentuk suatu sistem kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terpadu, maka
ide/jiwa/spirit ”kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus terwujud
secara integral dalam keseluruhan kebijakan legislatif/perundang-undangan yang
mengatur keseluruhan proses/sistem kekuasaan penegakan hukum (sistem kekuasaan
kehakiman/sistem peradilan pidana). Dengan demikian sebagai bagian dari
kekuasaan kehakiman yang merdeka, keempat subsistem dalam sistem peradilan
pidana juga harus merupakan kekuasaan yang merdeka dan mandiri.[11]
Salah satu
hal yang perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-undang
Dasar 1945 tidaklah menganut paham trias
politica. Namun pelembagaan berbagai kekuasaan negara menunjukkan dengan
tegas bahwa para perumus UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh paham trias politica. Prinsip trias politica yang dianut di dalam UUD
1945 adalah adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak sebagai
ciri dan syarat tegaknya negara hukum. Penganutan atas prinsip ini tertuang
didalam ketentuan Pasal 24 (1) beserta penjelasan atas Pasal 24 dan 25 UUD
1945.[12]
Perumusan
UUD 1945 tentang penganutan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak
mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi
kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan eksekutif. Yang disebutkan
hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dan merdeka dan itu bisa
diartikan hanya berlaku bagi fungsi peradilannya.[13]
Keadaan itu berubah ketika pemerintah mengeluarkan UU No. 19 tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 tahun 1965 tentang
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 19
tersebut menjelaskan:
”Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara
dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, presiden dapat turun atau
campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”
Selanjutnya UU No. 13 tahun
1965 tentang pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum manyatakan bahwa hakim
dalam menjalankan fungsinya harus tunduk pada visi politik pemerintah. Pasal 6
ayat (1) menyebutkan bahwa politik yang wajib diikuti dan diamalkan hakim
adalah politik pemerintah yang berdasarkan pancasila, Manipol/Usdek dan
pedoman-pedoman pelaksanaannya.[14]
Berkuasanya
orde baru dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen telah melakukan beberapa langkah penting untuk mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang mandiri sesuai dengan Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Salah satu
produk hukum yang lahir pada masa orde baru adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 1 UU No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
”Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.”[15]
Namun, visi dan kepentingan
politik orde baru tetap menjadi referensi kekuasaan kehakiman pada saat
melaksanakan fungsi yudisialnya. Hal ini dibuktikan dengan:
1. UU No. 14 tahun 1970
masih mengukuhkan dualisme kekuasaan kehakiman rezim politik demokrasi
terpimpin.
2. Sebagai pegawai
departemen kedudukan atau status para hakim sebagai pegawai negeri sipil yang
tentu saja tunduk pada peraturan-peraturan tentang Pegawai Negeri Sipil.
3. Munculnya suatu lembaga
yang pada awalnya hanya merupakan forum dialog antara MA, Depkeh, Kejaksaan dan
Kepolisian.
4. Adanya penegasan dalam
Undang-undang tersebut bahwa presiden sebagai kepala negara.
5. Tampaknya pengendalian
terhadap kekuasaan kehakiman oleh kekuasaan pemerintah.[16]
Salah satu pasal dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut yang dapat mengganggu independensi
badan-badan pengadilan yaitu Pasal 11 yang menentukan secara organisatoris,
administratif dan finansial badan-badan peradilan berada dibawah departemen
terkait (Eksekutif), sementara dilain pihak Pasal 10 mengatakan bahwa peradilan
tertinggi adalah Mahkamah Agung. Yang melakukan pengawasan maupun kasasi dan
peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut.
Keadaan inilah yang lazim disebut dengan adanya
sistem dua atap dalam badan-badan peradilan, yang akan segera diakhiri dengan
penerapan UU No. 35 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan implementasi dari
Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 yang berkaitan dengan pemisahan yang tegas
antara fungsi-fungsi Judikatif dan Eksekutif. Berdasarkan ketentuan UU No. 35
Tahun 1999 tersebut, maka peralihan kewenangan Departemen (eksekutif) terhadap
badan-badan peradilan sehingga menjadi dibawah satu atap di Mahkamah Agung dilaksanakan
secara bertahap dalam tempo 5 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan,
yang berarti antara tahun 1999 s/d tahun 2004. Sehingga dengan demikian sudah
tidak akan ada lagi dualisme dalam
pembinaan badan-badan peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah
kewenangan Mahkamah Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun
administratlif, organisatoris dan finansiil.[17]
Berdasarkan analisis
historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat
kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan
penerapan dan pelaksanaan sistem politik.
Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan
kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks
dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya
kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Berbagai peraturan perundangan
yang mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang
kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman.
Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi
dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya.
Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung
multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement. Sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang
mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur
tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh
kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya
ekonomi dan politik. Dalam rezim iu,
peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan
direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sehinggga fungsi genuinenya tidak bisa
dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan
mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen
stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi.
Peradilan tidak punya kebebasan
dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal
institusional dan substantif. Dalam
masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika,
moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman
belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan
kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh
mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum
yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Berbagai persoalan yang
membelit kekuasaan kehakiman sebagaimana dipaparkan diatas menjadi salah satu
agenda penting reformasi, sehingga pada Perubahan UUD 1945, Pasal-pasal yang
mengatur tentang kekuasaan kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Independensi kekuasaan kehakiman benar-benar dipertaruhkan dalam proses
peradilan yang menyentuh kepentingan kekuasaan. Disamping intervensi kekuasaan
eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman yang telah menjadi ”aktor” pemaksa hakim
menghianati profesinya, kekuasaan kehakiman didalam menjalankan tugas
yudisialnya hingga saat ini masih dijangkiti oleh ”penyakit akut” yakni
merajalelanya korupsi peradilan.
Oleh karena itu, Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan
independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh
rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence
does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Meskipun
pada asasnya hakim itu mandiri dan bebas, tetapi kebebasan hakim itu
sebagaimana dijelaskan diatas tidaklah mutlak karena dalam menjalankan tugasnya
hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, Peraturan
perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan
demikian kekuasaan kehakiman sangatlah dianjurkan untuk menghindari hal-hal
yang terkait dengan kepentingan politik. Kekuasaan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila tunduk pada peraturan hukum
yang berlaku. Jadi, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan
diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan
hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun
substansial/materil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan
“Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan
bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum
dan tidak dapat bertindak "contra legem".[18]
Begitu juga dengan kekuasaan MA yang merupakan
pelaku kekuasaan kehakiman, ia juga harus independen dan terpisah dari
kekuasaan negara lainnya. Independen itu
meliputi kemandirian personal (personal
judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal dan
kemandirian kelembagaan (institusional
judicial independence).
1. Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam
memerikasa dan memutusakan suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
2. Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi
berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya didalam memutus suatu
perkara.
3. Kemandirian internal adalah kemandirian yang
dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman
meliputi antara lain rekruitmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa
pensiun.
4. Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus
rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
Ada banyak penelitian
yang bisa menunjukkan bahwa mafia peradilan memang benar-benar ada. Mardjono
Reksodiputro mengungkapkan bahwa beberapa modus korupsi yang dilakukan oleh
kepolisian, kejaksaan dan hakim dipengadilan. Ia mengutip istilah yang
berkembang dimasyarakat ”lapor ayam hilang, kambingpun ikut hilang” maksudnya
apabila korban lapor kepolisi akan keluar lebih banyak uang untuk ikut
menanggung biaya operasional polri. Pola-pola korupsi dalam pengadilan pidana
sudah mulai berlangsung pada tahap memasukkan perkara. Agar perkara mendapatkan
nomor perkara awal harus memberikan pelicin bagian registrasi. Praktek-praktek
kotor lain yang sering dilakukan oleh hakim adalah membentuk jaringan rahasia
antara hakim, jaksa, dan pengacara, hakim pemeriksa perkara dapat melakukan
”lobi-lobi” hukum terkait dengan isi vonnis yang akan dijatuhkan terhadap
seorang terdakwa atas dasar ”kompensasi finansial” tertentu. Tidak diragukan
lagi bahwa praktek peradilan yang korup (judicial
corruption) menimbulkan berbagai dampak negatif yang merusak sendi-sendi
kehidupan, seperti macetnya proses demokratisasi, terjadinya diskriminasi hukum
yang merupakan pelanggaran HAM, hancurnya martabat peradilan, munculnya ketidakpercayaan
publik terhadap hukum dan lain sebagainya.
d. Penutup
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan
ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu
Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian kekuasaan kehakiman
haruslah bebas dan tidak memihak, hal tersebut hanya akan dapat terwujud
apabila tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku. Apabila kekuasaan
kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang
ada dalam suatu negara, maka ia akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya
dalam suatu negara menjadi tidak bermakna.
Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat
terwujud salah satunya apabila Sumber
Daya Manusia hakim agung mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, professional,
dan berpengalaman dibidang hukum. Artinya sistem perekrutan yang tersedia harus
menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik. Oleh karena itu, perekrutan harus
dilakukan melalui sistem oleh pihak-pihak yang netral, mempunyai kompetensi,
dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam perekrutan
dan adanya standar yang tepat.
DAFTAR
PUSTAKA
Literatur:
Barda
Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum
dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta
Benny
K.Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, ELSAM, Jakarta
Moh.
Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan
Hukum Di Indonesia, Gama Media, Jakarta
RE. Baringbang,
2001, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi
Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi, Jakarta
Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Sumber lainnya:
Paulus E Lotulung,
Makalah, Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri
Denpasar, 14 -18 Juli 2003
Sirajuddin, Profesi Hakim Dalam Pusaran Krisis,
Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007
[1] Dosen Fakultas Hukum & Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Islam Indragiri.
[2] Paulus E Lotulung, Makalah, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Departemen
Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14 -18 Juli 2003
[3] RE. Baringbang, 2001, Catur
Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian
Reformasi, Jakarta, hlm. 117.
[5] Ibid., hlm.31
[6] Sirajuddin, Profesi Hakim Dalam Pusaran Krisis,
Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007, hlm.11
[7] Ibid, hlm.12
[8] Ibid, hlm.11
[9] RE. Baringbing, op.cit., hlm.36
[11] Barda Nawawi Arief,
2008, Masalah Penegakan Hukum dan
Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta,
hlm.37
[12] Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia,
Gama Media, Jakarta, hlm.275
[13] Ibid, hlm.276
[14] Benny K.Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, ELSAM, Jakarta, hlm.13
[15] Pasal 1 UU No. 14
tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
[16] Benny K.Harman, Op.cit., hlm 17-22
[17] Paulus E Lotulung, Log.cit
[18] Ibid