Kamis, 31 Mei 2012

“INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”


 “INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA”

Fitri Wahyuni,SH,MH[1]


ABSTRAK
Judicial power is independent of state power to hold court order to enforce law and justice based on Pancasila, the State for the implementation of the Law of the Republic of Indonesia. The implementation of the judicial authorities handed over to judicial bodies and established by law, the fundamental duty to receive, examine, and adjudicate and resolve any matter raised kepadanya.Adanya assurance and certainty of the nature of freedom and independence of judicial power depends on the application and implemenation of the political system.

Key words: independence, justice


 













A.    Pendahuluan

Hakim merupakan pengemban hukum praktis yang menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran hukum. Namun demikian peran hakim dalam suatu tradisi hukum sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain. Dalam tradisi hukum common law, hakim menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan hukum. Judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yangg diberikan kepada preseden-preseden (putusan hakim-hakim). Sementara eropa kontinental mengutamakan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistemhukumnya. Oleh karena itu, hakim lebih banyak berperan dalam kegiatan menerapkan hukum dalam kasus konkrit sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif.
Diantara para penegak hukum yang lain posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan dibumi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun, dibeberapa dekade terakhir, terutama setelah reformasi profesi hakim mendapatkan gugatan dari berbagai elemen masyarakat karena dianggap hakim masih sering menggadaikan profesionalitasnya untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek.
Pelaksanaan hukum, penegakan rule of law, merupakan syarat mutlak bagi berdirinya sebuah bangunan demokrasi. Terdapat 6 (enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of Law, yaitu:  Perlindungan Konstitusional, peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, Pemilihan Umum yang bebas, kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi, pendidikan kewarganegaraan.[2] Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan salah satu pilar pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang Negara Hukum.
Peradilan  harus bersifat independen serta impartial (tidak memihak)[3]. Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain. Sedangkan Peradilan yang independen harus menjadi puncak kearifan dan perekat kohesi sosial bagi para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa antara rakyat dengan penguasa atau antara sesama warga diproses melalui peradilan. Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif.  Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan.  Mereka seharusnya tidak boleh mempengaruhi dan atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis.
Keberadaan lembaga peradilan dalam suatu negara modern seperti Indonesia merupakan suatu keniscayaan.  Karena akan mustahil kekuasaan politik pemerintahan dapat berjalan dengan benar dan adil jika tidak ada lembaga yang berfungsi menegakkan hukum dan mengadili sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau antara rakyat dengan anggota masyarakat lainnya. Penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu fungsi kedaulatan suatu negara. Dalam bukunya Territory The Claiming of Space, David Storey menegaskan tentang peran dan fungsi negara, yaitu:
  1. Mengatur perekonomian negara.
  2. Menyediakan kebutuhan dan kepentingan publik terutama kesehatan dan transportasi.
  3. Menyediakan perangkat hukum dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya.
  4. Membela dan menjaga teritorial wilayahnya negara dan keamanan rakyatnya dari ancaman pihak luar (Storey, Prentice Hall, 2001: 39).
Seperti yang kita ketahui, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya peradilan yang merdeka dan mandiri. Salah satu tiang penyangga tegaknya kedaulatan negara adalah adanya pengadilan berdaulat. Entitas pengadilan sejatinya merupakan lembaga yang bertugas mencerahkan dan memberi arah perjalanan peradaban bangsa.
Saat ini masyarakat tidak puas terhadap pelayan peradilan. Peradilan dianggap gagal memenuhi harapan sebagai benteng terkahir melawan ketidakadilan[4]. Hal ini melahirkan rasa kurang hormat terhadap peradilan, dan keluarnya tuduhan bahwa peradilan telah dipolitisasi dan korup. Dalam hal korupnya pengadilan, praktisi hukum (pengacara atau jaksa) juga dipersalahkan karena  turut memfasilitasi terjadinya penyuapan. Khususnya pengacara dan konsultan hukum banyak dituduh sebagai perantara dalam transaksi yang menjadikan hukum sebagai barang dagangan.
Kenyataan tersebut sudah begitu lekat sebagai citra peradilan di Indoensia. Tidak aneh jika masyarakat membuat sindirian-sindiran dengan mengartikan istilah hakim sebagai  Hubungi Aku Kalau Ingin Menang, KUHP diartikan sebagai Kasih Uang Hakim Pasrah atau Kasih Uang Habis Perkara dan banyak lagi simbol kerusakan peradilan.
Berbeda dengan di Amerika Serikat perjuangan mewujudkan Independence Judiciary yang memerlukan waktu 100 tahun, Negara Indonesia mewujudkan pengadilan yang lepas dari kekuasaan eksekutif terwujud pada tahun 2004 yang memunculkan peradilan satu atap. Pada umumnya penegakan hukum tidak pernah berproses di ruang hampa. Tetapi selalu terkorelasi dengan variabel-variabel lain, seperti ideologi hukum, karakter hukum formal (acara), kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Juga tidak terlepas dari ideologi penegak hukum, tersedianya fasilitas bantuan hukum serta tingkat pendidikan dan kesadaran hukum masyarakat. harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungan-jawab atau akuntabilitas yang kedua-duanya itu merupakan dua sisi koin mata uang yang saling melekat.

Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary) haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (Judicial accountability). Dalam memasuki era globalisalsi sekarang ini, menjadi kewajiban bagi kita semua yang bergerak di pemerintahan dan penegakan hukum, baik kalangan teoritisi/akademisi maupun praktisi untuk mengkaji secara serius dan mendalam mengenai pengertian "judicial accountability" tersebut sebagai pasangan dari “independency of judiciary".

B.    Peranan Hakim dan  Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Penjelasan setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian didalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.[5]
Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman menjadi salah satu agenda penting reformasi. Sehingga pada perubahan UUD 1945, Pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan.berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, paling tidak terdapat 4 (empat) perubahan penting dalam UUD 1945 Pasca Amandemen:[6]
1.     Jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam pasal-pasal UUD 1945, yang sebelumnya hanya disebutkan dalam penjelasan UUD 1945
2.     MA dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada mahkamah konstitusi yang berkedudukan setingkat dengan MA dan berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahakamah Konstitusi tidak kalah penting untuk diperkuat pada masa yang akan datang adalah terwujudnya keterbukaan dipengadilan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang dikelola oleh pengadilan.
Berkaitan dengan persoalan keterbukaan pengadilan, Jeremy Bentham dua abad yang lalu pernah menyatakan: “In the darkness of secrecy, sinister interest and evil in every shape have full swing. Only in proportion as publicity has place can any of the check applicable to judicial in justice operate. Where there is no publicity there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is keenest spur to exertion and the surest of all guard against improbity. It keeps the judge himself while trying under trial”[7]. Jika diterjemahkan kira-kira berbunyi: “dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada dipuncak kekuatannya hanya dengan keterbukaanlah pengawasan terhadap segala bentuk ketidakadilan dilembaga peradilan dapat dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim “diadili” saat ia mengadili (perkara).
3.     Adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman yaitu komisi yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
KY merupakan salah satu lembaga baru. Pengawasan terhadap hakim haruslah menjadi kewenangan komisi yudisial, karena sangatlah keliru kalau dikatakan secara universal KY tidak dapat mengawasi hakim agung. Seiring dengan keberadaan KY sebagai pengawas eksternal, pada masa yang akan datang pengawasan internal terhadap hakim harus terus diperkuat eksistensinya. Dengan memperkuat transparansi dan akuntabilitasnya terhadap publik seraya membangun sinergi dengan pengawasan eksternal yang dilakukan oleh KY.[8]
4.     Adanya kewenangan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran Parpol, memutus sengketa tentang hasil pemilu.
Jadi, landasan konstitusional dari kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Dasar l945 sebagaimana ditentukan dalam pasal 20, 21, 24, 24ยช, 24B, 24C dan 25 UUD l945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kewenangan mengadili merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan sistem peradilan di negara kita belum menganut integrated criminal justice system sehingga wacana tentang reformasi sistem peradilan dan sistem penegakan hukum dituntut untuk melihat cermin yang lebih luas secara utuh. Dalam sistem yang ada saat ini, lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung tidak dapat mengontrol proses penyidikan dan/atau penuntutan dalam perkara pidana.
Dalam melakukan kekuasaan kehakiman dikenal adanya 4 (empat) lingkungan peradilan yaitu :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung adalah peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan lainnya seperti Peradilan Umum, Agama, militer dan Tata Usaha Negara maupun peradilan lainnya. Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang mempunyai kedudukan terlepas dan terpisah dari pengaruh kekuasaan negara lainnya.
 Fungsi utama dari MA sebagai sebuah lembaga peradilan adalah mewujudkan tujuan hakiki dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat, interpreter of the constitution, menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, menjalankan fungsi check and balance guna menegakkan prinsip-prinsip negara hukum guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Fungsi Yudicial menyelenggarakan peradilan dengan melaksanakan dan menerapkan hukum secara tepat dan adil. Fungsi Review (toetsingsrecht) adalah hak untuk menguji secara materiil berbagai peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi dengan mekanisme prosedural yang tidak menyulitkan. Fungsi Supervisi adalah pertama: pengawasan dan pembinaan tertinggi terhadap proses penyelenggaraan peradilan disemua tingkat dan lingkup peradilan; kedua: pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim; ketiga: meminta keterangan mengenai teknis peradilan; keempat: mempunyai kewenangan untuk memberikan petunjuk, teguran dan peringatan yang diperlukan.
Sementara itu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peradilan. Hakim  merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. [9]
Untuk itu, dalam perekrutan hakim diperlukan suatu aturan dan prosedur yang jelas, sehingga calon hakim terpilih benar-benar orang-orang yang memahami dan mengetahui hukum dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun, sistem rekrut maupun proses diperadilan nasional masih belum berubah. Hal ini dapat dilihat dari aspek personal maupun aspek perilakunya, yang masih sama dengan masa lalu. Sebagai contoh, sikap Mahkamah Agung menanggapi keinginan masyarakat banyak untuk megisi lowongan jabatan sejumlah Hakim agung di MA dengan tokoh-tokoh yang dikenal berani dan relatif bersih. MA bukannya  menerima malah dengan cepat menolak keras dan hanya mengajukan kandidat yang berasal dari dalam. Aspirasi yang berkembang itu ibarat biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu[10]. Padahal, Sistem rekruitmen Hakim Agung harus bersifat terbuka, maksudnya selain dari hakim karier maka dimungkinkan juga para hakim bersalah dari lingkungan para penegak hukum lain yang terdapat dalam lingkungan criminal justice system seperti advokat, kejaksaan dan kepolisian.  Pola dan proses rekruitmen, mutasi, promosi dan jenjang kepangkatan Hakim diserahkan kepada mekanisme internal MA.
Hakim Agung dipilih dan diberhentikan langsung oleh DPR berdasarkan usulan-usulan langsung dari rakyat dan lembaga profesi hukum. Pemilihan dan pengangkatan hakim agung harus menjamin bahwa para kandidat mempunyai kemampuan, integritasnya tinggi, kemandirian dan berpengalaman, selain profesional, jujur, bersih dan berwibawa.  Kandidat terbaiklah yang dapat menduduki jabatan.
Pimpinan dan anggota diangkat oleh MPR secara bebas dan rahasia disahkan oleh presiden sebagai Kepala Negara Hakim Agung diangkat oleh DPR. Pemilihan calon tidak boleh didasarkan atas diskrimasi berdasarkan ras, suku, agama warna kulit, sex dan aliran politik. Prosedur pengangkatan harus diatur jelas dan mudah diketahui oleh publik. Promosi hakim haruslah dilakukan dengan memperhatikan kemampuan, integritas, kemandirian dan pengalaman. Hakim hanya bisa diberhentikan apabila terbukti, tidak mampu, melakukan tindak pidana melakukan tindakan dan kelakuan tidak sesuai serta bertentangan dengan martabat dan kedudukanya sebagai hakim dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk melakukan pembelaan diri.
Kewibawaan kekuasaan kehakiman menuntut adanya kredibilitas personal dan integritas moral kelembagaan. Untuk itu pemberlakukan pedoman perilaku Hakim merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma-norma etika dan adat kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, memerlukan adanya pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim selaku penegak hukum dan sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab Negara memberi jaminan keamanan, kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas anggaran bagi Hakim, dan lembaga pengadilan. Sementara bagi Hakim sendiri, meskipun kondisi-kondisi di atas belum terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya
Adapun peranan dari hakim diantaranya dijelaskan dalam UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
a.      Peranan yang ideal
Pasal 1 yang isinya adalah: ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”
b.      Peranan yang seharusnya
Pasal 4 ayat (2) yang isinya adalah: ”Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Pasal 5 ayat (1) yang isinya adalah: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Ayat (2) yang isisnya adalah: ”Dalam perkara perdata pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”
Pasal 16 ayat (1) yang isinya adalah: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas meelainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
C.    Independensi kekuasaan kehakiman dan profesionalisme hakim
Untuk membentuk suatu sistem kekuasaan kehakiman yang merdeka dan terpadu, maka ide/jiwa/spirit ”kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus terwujud secara integral dalam keseluruhan kebijakan legislatif/perundang-undangan yang mengatur keseluruhan proses/sistem kekuasaan penegakan hukum (sistem kekuasaan kehakiman/sistem peradilan pidana). Dengan demikian sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka, keempat subsistem dalam sistem peradilan pidana juga harus merupakan kekuasaan yang merdeka dan mandiri.[11]
Salah satu hal yang perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 tidaklah menganut paham trias politica. Namun pelembagaan berbagai kekuasaan negara menunjukkan dengan tegas bahwa para perumus UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh paham trias politica. Prinsip trias politica yang dianut di dalam UUD 1945 adalah adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak sebagai ciri dan syarat tegaknya negara hukum. Penganutan atas prinsip ini tertuang didalam ketentuan Pasal 24 (1) beserta penjelasan atas Pasal 24 dan 25 UUD 1945.[12]
Perumusan UUD 1945 tentang penganutan prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak mencakup pengorganisasian atau hubungan organisatoris antara organisasi kekuasaan yudikatif dan organisasi kekuasaan eksekutif. Yang disebutkan hanyalah prinsip bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dan merdeka dan itu bisa diartikan hanya berlaku bagi fungsi peradilannya.[13] Keadaan itu berubah ketika pemerintah mengeluarkan UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 19 tersebut menjelaskan:
 ”Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat mendesak, presiden dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan.”
Selanjutnya UU No. 13 tahun 1965 tentang pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum manyatakan bahwa hakim dalam menjalankan fungsinya harus tunduk pada visi politik pemerintah. Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa politik yang wajib diikuti dan diamalkan hakim adalah politik pemerintah yang berdasarkan pancasila, Manipol/Usdek dan pedoman-pedoman pelaksanaannya.[14]
Berkuasanya orde baru dengan semboyan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen telah melakukan beberapa langkah penting untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang mandiri sesuai dengan Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Salah satu produk hukum yang lahir pada masa orde baru adalah UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 1 UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”[15]
Namun, visi dan kepentingan politik orde baru tetap menjadi referensi kekuasaan kehakiman pada saat melaksanakan fungsi yudisialnya. Hal ini dibuktikan dengan:
1.     UU No. 14 tahun 1970 masih mengukuhkan dualisme kekuasaan kehakiman rezim politik demokrasi terpimpin.
2.     Sebagai pegawai departemen kedudukan atau status para hakim sebagai pegawai negeri sipil yang tentu saja tunduk pada peraturan-peraturan tentang Pegawai Negeri Sipil.
3.     Munculnya suatu lembaga yang pada awalnya hanya merupakan forum dialog antara MA, Depkeh, Kejaksaan dan Kepolisian.
4.     Adanya penegasan dalam Undang-undang tersebut bahwa presiden sebagai kepala negara.
5.     Tampaknya pengendalian terhadap kekuasaan kehakiman oleh kekuasaan pemerintah.[16]
Salah satu pasal dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut yang dapat mengganggu independensi badan-badan pengadilan yaitu Pasal 11 yang menentukan secara organisatoris, administratif dan finansial badan-badan peradilan berada dibawah departemen terkait (Eksekutif), sementara dilain pihak Pasal 10 mengatakan bahwa peradilan tertinggi adalah Mahkamah Agung. Yang melakukan pengawasan maupun kasasi dan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan badan peradilan tersebut.
Keadaan inilah yang lazim disebut dengan adanya sistem dua atap dalam badan-badan peradilan, yang akan segera diakhiri dengan penerapan UU No. 35 Tahun 1999. Undang-Undang ini merupakan implementasi dari Ketetapan MPR Nomor X Tahun 1998 yang berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi Judikatif dan Eksekutif. Berdasarkan ketentuan UU No. 35 Tahun 1999 tersebut, maka peralihan kewenangan Departemen (eksekutif) terhadap badan-badan peradilan sehingga menjadi dibawah satu atap di Mahkamah Agung dilaksanakan secara bertahap dalam tempo 5 tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, yang berarti antara tahun 1999 s/d tahun 2004. Sehingga dengan demikian sudah tidak akan ada lagi dualisme  dalam pembinaan badan-badan peradilan, melainkan akan menjadi satu pembinaan dibawah kewenangan Mahkamah Agung, baik meliputi pembinaan teknis maupun administratlif, organisatoris dan finansiil.[17]
Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia, adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik.  Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi independensi kekuasaan kehakiman.  Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak harmonis dan inkonsistensi dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya.  Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung multi penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement.  Sementara mekanisme berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa.  Bahkan, lembaga peradilan tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik.  Dalam rezim iu, peradilan merupakan bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan direktiva dan mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan.  Sehinggga fungsi genuinenya tidak bisa dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna melaksanakan, mempertahankan dan mengamankan program pembangunan dan kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen stabilitas politik dan pendorong pertumbuhan ekonomi. 
Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan substantif.  Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan, dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitas hakim dalam kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan kepentingan kekuasaan.  Mereka seharusnya tidak boleh mmepengaruhi dan /atau terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri, baik dari segi politis maupun ekonomis. 
Berbagai persoalan yang membelit kekuasaan kehakiman sebagaimana dipaparkan diatas menjadi salah satu agenda penting reformasi, sehingga pada Perubahan UUD 1945, Pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman mengalami perubahan yang cukup signifikan. Independensi kekuasaan kehakiman benar-benar dipertaruhkan dalam proses peradilan yang menyentuh kepentingan kekuasaan. Disamping intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman yang telah menjadi ”aktor” pemaksa hakim menghianati profesinya, kekuasaan kehakiman didalam menjalankan tugas yudisialnya hingga saat ini masih dijangkiti oleh ”penyakit akut” yakni merajalelanya korupsi peradilan.
Oleh karena itu, Kekuasaan Kehakiman, yang dikatakan independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri dan bebas, tetapi kebebasan hakim itu sebagaimana dijelaskan diatas tidaklah mutlak karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, Peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian kekuasaan kehakiman sangatlah dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang terkait dengan kepentingan politik. Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan dapat terwujud apabila tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Jadi, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial/materil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi Kekuasaan “Kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem".[18]
Begitu juga dengan kekuasaan MA yang merupakan pelaku kekuasaan kehakiman, ia juga harus independen dan terpisah dari kekuasaan negara lainnya.  Independen itu meliputi kemandirian personal (personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial independence) dan kemandirian internal dan kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence).
1.     Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam memerikasa dan memutusakan suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
2.     Kemandirian institusional adalah  kemandirian lembaga kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya didalam memutus suatu perkara.
3.     Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman meliputi antara lain rekruitmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa pensiun.
4.     Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
Ada banyak penelitian yang bisa menunjukkan bahwa mafia peradilan memang benar-benar ada. Mardjono Reksodiputro mengungkapkan bahwa beberapa modus korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan hakim dipengadilan. Ia mengutip istilah yang berkembang dimasyarakat ”lapor ayam hilang, kambingpun ikut hilang” maksudnya apabila korban lapor kepolisi akan keluar lebih banyak uang untuk ikut menanggung biaya operasional polri. Pola-pola korupsi dalam pengadilan pidana sudah mulai berlangsung pada tahap memasukkan perkara. Agar perkara mendapatkan nomor perkara awal harus memberikan pelicin bagian registrasi. Praktek-praktek kotor lain yang sering dilakukan oleh hakim adalah membentuk jaringan rahasia antara hakim, jaksa, dan pengacara, hakim pemeriksa perkara dapat melakukan ”lobi-lobi” hukum terkait dengan isi vonnis yang akan dijatuhkan terhadap seorang terdakwa atas dasar ”kompensasi finansial” tertentu. Tidak diragukan lagi bahwa praktek peradilan yang korup (judicial corruption) menimbulkan berbagai dampak negatif yang merusak sendi-sendi kehidupan, seperti macetnya proses demokratisasi, terjadinya diskriminasi hukum yang merupakan pelanggaran HAM, hancurnya martabat peradilan, munculnya ketidakpercayaan publik terhadap hukum dan lain sebagainya.
d. Penutup
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Kebebasan Hakim yang didasarkan pada kemandirian Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-undang Dasar 1945, yang selanjutnya di implementasikan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian kekuasaan kehakiman haruslah bebas dan tidak memihak, hal tersebut hanya akan dapat terwujud apabila tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada dalam suatu negara, maka ia akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam suatu negara menjadi tidak bermakna.
Gagasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat terwujud salah satunya apabila  Sumber Daya Manusia hakim agung mempunyai kepribadian yang tidak tercela, adil, professional, dan berpengalaman dibidang hukum. Artinya sistem perekrutan yang tersedia harus menjamin terekrutnya pribadi-pribadi terbaik. Oleh karena itu, perekrutan harus dilakukan melalui sistem oleh pihak-pihak yang netral, mempunyai kompetensi, dijalankan secara transparan, adanya pengawasan secara efektif dalam perekrutan dan adanya standar yang tepat.






DAFTAR PUSTAKA

Literatur:
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta
Benny K.Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, ELSAM, Jakarta
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Jakarta
RE. Baringbang, 2001, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi, Jakarta

Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No.14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Sumber lainnya:
Paulus E Lotulung, Makalah, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14 -18 Juli 2003
Sirajuddin, Profesi Hakim Dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007



[1] Dosen Fakultas Hukum & Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri.
[2] Paulus E Lotulung, Makalah, Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Ri Denpasar, 14 -18 Juli 2003
[3] RE. Baringbang, 2001, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, hlm. 117.
[4]Ibid, hlm. 118
[5] Ibid., hlm.31
[6] Sirajuddin, Profesi Hakim Dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli-Desember 2007, hlm.11
[7] Ibid, hlm.12
[8] Ibid, hlm.11
[9] RE. Baringbing, op.cit., hlm.36
      [10] Ibid, hal. 102
[11] Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, hlm.37
[12] Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Jakarta, hlm.275
[13] Ibid, hlm.276
[14] Benny K.Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, ELSAM, Jakarta, hlm.13
[15] Pasal 1 UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
[16] Benny K.Harman, Op.cit., hlm 17-22
[17] Paulus E Lotulung, Log.cit
[18] Ibid